Pengertian Takwa
Menurut Bahasa
Ø Menurut
bahasa, takwa berasal dari bahasa Arab yang berarti memelihara diri dari
siksaan Allah SWT, yaitu dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya (Imtitsalu awamirillah wajtinabu nawahihi).
Ø Takwa
(taqwa) berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya memelihara,
yakni menjaga diri agar selamat dunia dan akhirat.
Ø Kata Waqa juga bermakna melindungi
sesuatu, yakni melindunginya dari berbagai hal yang membahayakan dan
merugikan.
Pengertian Takwa
Menurut Istilah
Ø Pengertian
takwa menurut istilah kita dapatkan di banyak literatur, termasuk Al-Quran,
Hadits, dan pendapat sahabat serta para ulama. Semua pengertian takwa itu
mengarah pada satu konsep: yakni melaksanakan semua perintah Allah, menjauhi larangannya,
dan menjaga diri agar terhindari dari api neraka atau murka Allah SWT.
Ø Ibn
Abbas mendefinisikan takwa sebagai "takut berbuat syirik kepada Allah
dan selalu mengerjakan ketaatan kepada-Nya" (Tafsir Ibn Katsir).
Untuk memperbaiki
diri agar menjadi orang yang soleh atau orang yang bertaqwa, 8 syarat perlu
ditempuh :
1. Dapat Petunjuk
dari Allah
Di sinilah
modal utama ke arah taqwa, yaitu Allah beri hidayah dengan cara mengetuk pintu
hatinya. Dia senang dengan Islam, sayang dengan Islam, suka dengan Islam, dan
terbuka hatinya untuk Islam. Sebut saja Islam terasa indah dan senang. Rasa
terhibur walaupun dia tidak tahu apa itu Islam. Firman Allah :
Artinya : Barangsiapa
yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia
melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan Barangsiapa yang
dikehendaki Allah kesesatannya[503], niscaya Allah menjadikan dadanya sesak
lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan
siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.
2. Faham Tentang
Islam
Faham tentang Islam.
Bukan diberitahu tenatng Islam. Bukan diajar tentang Islam. Inilah yang
dimaksud oleh sabda Rasulullah SAW :
“Barang siapa yang
Allah hendak jadikan dia orang baik, maka dia akan diberi faham tentang Islam”
3. Yakin
Apa saja ilmu
yang kita ketahui dan fahami perlu kita yakini terutamanya dalam soal-soal
aqidah; keyakinan kepada Allah, kepada Rasul, kepada malaikat dan sebagainya.
Keyakinan itu mesti kental, jangan dicelahi oleh syak, waham atau zan.
Artinya :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya
(beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan
mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka
Itulah orang-orang yang benar. (Al-Hujorot : 15)
4. Melaksanakan
Buah ilmu itulah
amalnya. Jadi sekiranya ilmu itu tidak diamalkan, jadilah ilmu yang tidak
berbuah. Pepatah Arab ada berkata :”Ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon
tidak berbuah”. 14/24. (Kun ‘Aliman….)
5. Bermujahadah
Walaupun hati sudah
terbuka, rindu dan suka dengan Islam, sudah faham Islam dan yakin dengan yang
difahami itu, tapi bila hendak bertindak, masya-Allah, rupanya bukan musuh
lahir, seperti Yahudi dan Nasrani yang menghalang, tapi musuh dalam diri kita,
yaitu nafsu. Nafsu itulah yang lebih jahat dari syaitan. Syaitan tidak dapat
mempengaruhi sesorang kalau tidak meniti di atas nafsu.
Artinya : dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Al-Ankabut : 29)
6. Istiqamah Beramal
Beramal jangan
bermusim, jangan ada turun naiknya. Kalau sudah beribadah, mesti terus
beribadah. Kalau sudah berukhuwah, terus berukhuwah. Kalau tinggalkan maksiat,
terus tinggalkan. Jangan sekali buat sekali tinggalkan. Begitu juga kalau
berjuang, berdakwah dan sebagainya, hendaklah berjuang dan berdakwah terus.
Jangan kadang-kadang beribadah, kadang-kadang tidak; kadang-kadang berdakwah,
kadang-kadang tidak. Jadi mesti mengamalkan baik perintah suruh dibuat secara
istiqamah maupun perintah larangan itu ditinggalkan secara istiqomah juga.
Dengan kata lain, beramal hendaklah secara tetap, secara rajin dan terus
menerus. Ini yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW :
“Sebaik-baik amalan
itu, yang dibuat secara istiqamah sekalipun sedikit”.
7. Ada Pemimpin yang
Memimpin
Dapat memimpin baik
di bidang ilmu, akal atau hati. Baik yang lahir maupun yang batin dan dalam
semua hal hingga hidup kita ini dapat tertuju kepada Allah.
Dalam Islam, pemimpin
yang dapat memimpin hidup kita itulah yang dikatakan mursyid. Asalnya dari
perkataan ‘mursyidun’ maknanya orang yang memimpin. Setiap orang wajib ada
pemimpin yang memimpin dirinya, baik dia ulama atau tidak, hafiz atau tidak,
pakar Islam atau tidak, mualim atau tidak.
8. Berdoa Kepada
Allah
Usaha kita tidak
memberi bekas walaupun usaha itu diperintahkan oleh Allah. Kita sudah belajar,
tetapi ilmu itu sebenarnya tidak memberi bekas. Kita bermujahadah, tetapi usaha
kita membaiki diri itu tidak memberi bekas. Mursyid kita tidak memberi bekas
walaupun kita disuruh mencari mursyid. Yang memberi bekas hanyalah Allah.
Allah-lah yang menghitamputihkan nasib kita. Begitulah keyakinan kita. Sebab
itu kita mesti selalu panjatkan doa kepada Allah agar Allah senantiasa
memberikan hidayah dan taufik kepada kita.
Dapat hidayah itu lebih
mudah. Contohnya dibuka pintu hatinya untuk menerima dan suka kepada Islam.
Tetapi belum tentu dapat taufiq. Taufiq ialah amalannya selaras dengan ilmu
atau dengan apa yang dia mau. Praktikal dengan teorinya sama. Ilmiah dengan
amaliahnya sama.
Indikator
Taqwa :
1. Kecerdasan Sosial
Ditandai dengan
selalu berbuat baik kepada orang lain karena ia yakin kebaikan itu kembali
kepada dirinya sendiri, tanpa salah alamat.
إِنَّهُمْ
كَانُوا قَبْلَ ذلِكَ مُحْسِنِينَ.
“Sungguh, sebelum
itu, mereka ketika di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik.”
Kebaikan seseorang
tidak semata-mata diukur dari hablun minallah, rajinnya ibadah
ritual, tetapi harus diimbangi dengan hablun minannas. Shalat
dimulai dengan takbir, dan diakhiri dengan salam mengajarkan kepada kita untuk
menjaga keseimbangan dan kesinambungan hubungan vertikal dan horizontal.
Manusia yang terbaik adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada orang
lain. Manusia yang paling baik adalah manusia yang bergaul dengan manusia lain
dan sabar atas gangguan mereka. Orang yang baik adalah yang shaleh ritual dan
shaleh sosial. Sholihun linafsihi wa sholihun lighoirih (sholih
untuk dirinya dan sholih untuk orang lain).
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا
الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang
beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah
kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. Al
Hajj (22) : 77)
Spirit untuk berbuat
baik tidak akan pernah padam, hingga ajal menjemput. Karena ia yakin pasti
mendapat balasan yang lebih baik dari Allah Subhanahu Wata’ala. Dan balasan itu
akan dia panen baik secara kredit ataupun kontan. Secara langsung maupun tidak
langsung. Di dunia ini dan di akhirat kelak.
2. Kecerdasan
Ruhaniah
Ditandai dengan rajin
mengerjakan shalat malam secara konsisten.
انُوا
قَلِيلاً مِّنَ الَّيْلِ مَايَهْجَعُونَ
“Mereka sedikit
sekali tidur di waktu malam.”
Orang bertakwa rajin
shalat malam atau shalat tahajjud untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu
wata’ala.
Artinya : dan orang
yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.
(Al-Furqon : 64)
Itulah sebabnya,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam menginformasikan kepada
sahabatnya bahwa bangun malam adalah perilaku dan kebiasaan rutin
orang-orang shalih dahulu, sebagai taqarrub (mendekatkan diri) kepada
Allah Subhanahu wata’ala, membentengi diri dari perbuatan dosa,
menghapuskan kesalahan dan dapat menghilangkan penyakit dalam tubuh.
Empat
Indikator Ketakwaan
Shalat tahajjud
merupakan saat yang tepat untuk bermuhasabah dan menyadari bahwa banyak
persoalan kehidupan ini yang tidak dapat dipecahkan hanya dengan menonjolkan
ikhtiar lahiriyah dan kecerdasan intelektual. Manusia memiliki keterbatasan.
Tidak semua persoalan bisa diselesaikan oleh manusia. Hanya kepada Allah lah
kita serahkan penyelesaiannya. Karena Allah adalah Sang Maha Pencipta yang
memiliki segala yang diperlukan hamba-Nya.
Perbanyaklah berzikir
kalimat tasbih, hamdalah, takbir dan tahlil dengan sepenuh hati, untuk lebih
menguatkan keimanan dalam hati kita. Shalat malam mendidik seluruh anggota
tubuh kita untuk tunduk kepada Allah Subhanahu wata’ala secara serentak.
3. Kecerdasan
Emosional
Ia selalu muhasabah dengan
memohon ampun (beristighfar) kepada Allah Subhanahu wata’ala di waktu
sahur (di penghujung malam). Orang yang cerdas adalah orang yang selalu
intropeksi diri dan beramal untuk kehidupan sesudah mati. Dengan banyak
muhasabah, hisab di akhirat lebih ringan. Karena ia selalu minta ditutupi,
dihapus kelemahannya oleh Allah Subhanahu wata’ala .
Semakin banyak
mengucapkan kalimat istighfar sepatutnya makin banyak kelemahannya yang
dihapus, sehingga yang menonjol adalah kebaikannya.
وَبِاْلأَسْحَارِ
هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
Mereka beristighfar
di waktu sahur. Waktu sahur ini memiliki keutamaan dan kemuliaan karena ia
termasuk sepertiga malam terakhir.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wassallam pernah bersabda :
“Allah
Subhanahu Wata’ala setiap malam turun ke langit dunia ketika sepertiga malam
yang terakhir masih tersisa. Kemudian Dia berfirman, “Siapa yang berdoa
kepada-Ku akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku beri. Dan
siapa yang memohon ampun kepada-Ku akan Aku ampuni.”
Orang yang memiliki
kecerdasan emosional hatinya mudah empati melihat penderitaan orang lain, dan
mudah menerima kebenaran orang lain. Maka ia berjiwa besar dan jauh dari sikap
kerdil. Berbagai penelitian mutakhir menunjukkan bahwa kecerdasan emosional
penentu keberhasil hidup seseorang.
4. Kecerdasan
Finansial
Ia senang berbagi dan
memberi orang-orang yang membutuhkannya.
وَفِي
أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّآئِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan dalam hartanya
ada hak bagi peminta-minta, dan orang miskin yang menahan diri dari meminta”.
Artinya : dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan
tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian. (al-Furqon : 67)
Maksudnya, ia gemar
bersedekah dan memberikan sebagian rizki yang diberikan Allah Subhanahu wata’ala
kepadanya untuk orang lain yang membutuhkan. Ia yakin dengan memberi,
sesungguhnya rezeki yang dimilikinya tidak akan berkurang. Malah, akan mendapat
balasan berlipat. Orang inilah yang bermental kaya.
Orang bertakwa tidak
terjangkiti penyakit materialis, yaitu, ketika memberi selalu mempertimbangkan
untung/rugi. Ia percaya bahwa Allah Subhanahu wata’ala yang melapangkan
dan menyempitkan rezeki seseorang.
Demikian diantara
sifat orang bertaqwa yang dijanjikan Allah Subhanahu Wata’ala sebagai
balasan sesuai dengan apa yang telah dikerjakan selama mereka hidup di dunia.
Kenikmatan yang tidak terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga
dan tidak pernah terlintas oleh manusia.
Kajian Rutin Kitab Riadhussolihin
'Karyawan Tuhan'
No comments:
Post a Comment