Monday, September 11, 2017

Menjadi Insan Taqwa, Kajian Kitab Riadhussolihin

Pengertian Takwa Menurut Bahasa
Ø  Menurut bahasa, takwa berasal dari bahasa Arab yang berarti memelihara diri dari siksaan Allah SWT, yaitu dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (Imtitsalu awamirillah wajtinabu nawahihi).

Ø  Takwa (taqwa) berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya memelihara, yakni menjaga diri agar selamat dunia dan akhirat.
Ø  Kata Waqa juga bermakna melindungi sesuatu, yakni melindunginya dari berbagai hal yang membahayakan dan merugikan.
Pengertian Takwa Menurut Istilah
Ø  Pengertian takwa menurut istilah kita dapatkan di banyak literatur, termasuk Al-Quran, Hadits, dan pendapat sahabat serta para ulama. Semua pengertian takwa itu mengarah pada satu konsep: yakni melaksanakan semua perintah Allah, menjauhi larangannya, dan menjaga diri agar terhindari dari api neraka atau murka Allah SWT.
Ø  Ibn Abbas mendefinisikan takwa sebagai "takut berbuat syirik kepada Allah dan selalu mengerjakan ketaatan kepada-Nya" (Tafsir Ibn Katsir).

Untuk memperbaiki diri agar menjadi orang yang soleh atau orang yang bertaqwa, 8 syarat perlu ditempuh :
1. Dapat Petunjuk dari Allah
Di sinilah modal utama ke arah taqwa, yaitu Allah beri hidayah dengan cara mengetuk pintu hatinya. Dia senang dengan Islam, sayang dengan Islam, suka dengan Islam, dan terbuka hatinya untuk Islam. Sebut saja Islam terasa indah dan senang. Rasa terhibur walaupun dia tidak tahu apa itu Islam. Firman Allah : 

Artinya : Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan Barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya[503], niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.
2. Faham Tentang Islam
Faham tentang Islam. Bukan diberitahu tenatng Islam. Bukan diajar tentang Islam. Inilah yang dimaksud oleh sabda Rasulullah SAW :
“Barang siapa yang Allah hendak jadikan dia orang baik, maka dia akan diberi faham tentang Islam”
3. Yakin
Apa saja ilmu yang kita ketahui dan fahami perlu kita yakini terutamanya dalam soal-soal aqidah; keyakinan kepada Allah, kepada Rasul, kepada malaikat dan sebagainya. Keyakinan itu mesti kental, jangan dicelahi oleh syak, waham atau zan.
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar. (Al-Hujorot : 15)

4. Melaksanakan
Buah ilmu itulah amalnya. Jadi sekiranya ilmu itu tidak diamalkan, jadilah ilmu yang tidak berbuah. Pepatah Arab ada berkata :”Ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon tidak berbuah”. 14/24. (Kun ‘Aliman….)
5. Bermujahadah
Walaupun hati sudah terbuka, rindu dan suka dengan Islam, sudah faham Islam dan yakin dengan yang difahami itu, tapi bila hendak bertindak, masya-Allah, rupanya bukan musuh lahir, seperti Yahudi dan Nasrani yang menghalang, tapi musuh dalam diri kita, yaitu nafsu. Nafsu itulah yang lebih jahat dari syaitan. Syaitan tidak dapat mempengaruhi sesorang kalau tidak meniti di atas nafsu. 
Artinya : dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Al-Ankabut : 29)
6. Istiqamah Beramal
Beramal jangan bermusim, jangan ada turun naiknya. Kalau sudah beribadah, mesti terus beribadah. Kalau sudah berukhuwah, terus berukhuwah. Kalau tinggalkan maksiat, terus tinggalkan. Jangan sekali buat sekali tinggalkan. Begitu juga kalau berjuang, berdakwah dan sebagainya, hendaklah berjuang dan berdakwah terus. Jangan kadang-kadang beribadah, kadang-kadang tidak; kadang-kadang berdakwah, kadang-kadang tidak. Jadi mesti mengamalkan baik perintah suruh dibuat secara istiqamah maupun perintah larangan itu ditinggalkan secara istiqomah juga. Dengan kata lain, beramal hendaklah secara tetap, secara rajin dan terus menerus. Ini yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW :
“Sebaik-baik amalan itu, yang dibuat secara istiqamah sekalipun sedikit”.
7. Ada Pemimpin yang Memimpin
Dapat memimpin baik di bidang ilmu, akal atau hati. Baik yang lahir maupun yang batin dan dalam semua hal hingga hidup kita ini dapat tertuju kepada Allah.
Dalam Islam, pemimpin yang dapat memimpin hidup kita itulah yang dikatakan mursyid. Asalnya dari perkataan ‘mursyidun’ maknanya orang yang memimpin. Setiap orang wajib ada pemimpin yang memimpin dirinya, baik dia ulama atau tidak, hafiz atau tidak, pakar Islam atau tidak, mualim atau tidak.
8. Berdoa Kepada Allah
Usaha kita tidak memberi bekas walaupun usaha itu diperintahkan oleh Allah. Kita sudah belajar, tetapi ilmu itu sebenarnya tidak memberi bekas. Kita bermujahadah, tetapi usaha kita membaiki diri itu tidak memberi bekas. Mursyid kita tidak memberi bekas walaupun kita disuruh mencari mursyid. Yang memberi bekas hanyalah Allah. Allah-lah yang menghitamputihkan nasib kita. Begitulah keyakinan kita. Sebab itu kita mesti selalu panjatkan doa kepada Allah agar Allah senantiasa memberikan hidayah dan taufik kepada kita.
Dapat hidayah itu lebih mudah. Contohnya dibuka pintu hatinya untuk menerima dan suka kepada Islam. Tetapi belum tentu dapat taufiq. Taufiq ialah amalannya selaras dengan ilmu atau dengan apa yang dia mau. Praktikal dengan teorinya sama. Ilmiah dengan amaliahnya sama.
Indikator Taqwa :
1. Kecerdasan Sosial
Ditandai dengan selalu berbuat baik kepada orang lain karena ia yakin kebaikan itu kembali kepada dirinya sendiri, tanpa salah alamat.
إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذلِكَ مُحْسِنِينَ.
“Sungguh, sebelum itu, mereka ketika di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik.”
Kebaikan seseorang tidak semata-mata diukur dari hablun minallah, rajinnya ibadah ritual, tetapi harus diimbangi dengan hablun minannas. Shalat dimulai dengan takbir, dan diakhiri dengan salam mengajarkan kepada kita untuk menjaga keseimbangan dan kesinambungan hubungan vertikal dan horizontal. Manusia yang terbaik adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada orang lain. Manusia yang paling baik adalah manusia yang bergaul dengan manusia lain dan sabar atas gangguan mereka. Orang yang baik adalah yang shaleh ritual dan shaleh sosial. Sholihun linafsihi wa sholihun lighoirih (sholih untuk dirinya dan sholih untuk orang lain).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. Al Hajj (22) : 77)
Spirit untuk berbuat baik tidak akan pernah padam, hingga ajal menjemput. Karena ia yakin pasti mendapat balasan yang lebih baik dari Allah Subhanahu Wata’ala. Dan balasan itu akan dia panen baik secara kredit ataupun kontan. Secara langsung maupun tidak langsung. Di dunia ini dan di akhirat kelak.
2. Kecerdasan Ruhaniah
Ditandai dengan rajin mengerjakan shalat malam secara konsisten.
انُوا قَلِيلاً مِّنَ الَّيْلِ مَايَهْجَعُونَ
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam.”
Orang bertakwa rajin shalat malam atau shalat tahajjud untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wata’ala.
  
Artinya : dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. (Al-Furqon : 64)
Itulah sebabnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam  menginformasikan kepada sahabatnya bahwa bangun malam adalah perilaku dan kebiasaan rutin orang-orang shalih dahulu, sebagai taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wata’ala, membentengi diri dari perbuatan dosa, menghapuskan kesalahan dan dapat menghilangkan penyakit dalam tubuh.

Empat Indikator Ketakwaan
Shalat tahajjud merupakan saat yang tepat untuk bermuhasabah dan menyadari bahwa banyak persoalan kehidupan ini yang tidak dapat dipecahkan hanya dengan menonjolkan ikhtiar lahiriyah dan kecerdasan intelektual. Manusia memiliki keterbatasan. Tidak semua persoalan bisa diselesaikan oleh manusia. Hanya kepada Allah lah kita serahkan penyelesaiannya. Karena Allah adalah Sang Maha Pencipta yang memiliki segala yang diperlukan hamba-Nya.
Perbanyaklah berzikir kalimat tasbih, hamdalah, takbir dan tahlil dengan sepenuh hati, untuk lebih menguatkan keimanan dalam hati kita. Shalat malam mendidik seluruh anggota tubuh kita untuk tunduk kepada Allah Subhanahu wata’ala  secara serentak.
 3. Kecerdasan Emosional
Ia selalu muhasabah dengan memohon ampun (beristighfar) kepada Allah Subhanahu wata’ala  di waktu sahur (di penghujung malam).  Orang yang cerdas adalah orang yang selalu intropeksi diri dan beramal untuk kehidupan sesudah mati. Dengan banyak muhasabah, hisab di akhirat lebih ringan. Karena ia selalu minta ditutupi, dihapus kelemahannya oleh Allah Subhanahu wata’ala .
Semakin banyak mengucapkan kalimat istighfar sepatutnya makin banyak kelemahannya yang dihapus, sehingga yang menonjol adalah kebaikannya.
وَبِاْلأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
Mereka beristighfar di waktu sahur. Waktu sahur ini memiliki keutamaan dan kemuliaan karena ia termasuk sepertiga malam terakhir.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam   pernah bersabda :
 “Allah Subhanahu Wata’ala setiap malam turun ke langit dunia ketika sepertiga malam yang terakhir masih tersisa. Kemudian Dia berfirman, “Siapa yang berdoa kepada-Ku akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku beri. Dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku akan Aku ampuni.”
Orang yang memiliki kecerdasan emosional hatinya mudah empati melihat penderitaan orang lain, dan mudah menerima kebenaran orang lain. Maka ia berjiwa besar dan jauh dari sikap kerdil. Berbagai penelitian mutakhir menunjukkan bahwa kecerdasan emosional penentu keberhasil hidup seseorang.
4. Kecerdasan Finansial
Ia senang berbagi dan memberi orang-orang yang membutuhkannya.
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّآئِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan dalam hartanya ada hak bagi peminta-minta, dan orang miskin yang menahan diri dari meminta”.
  
Artinya : dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (al-Furqon : 67)

Maksudnya, ia gemar bersedekah dan memberikan sebagian rizki yang diberikan Allah Subhanahu wata’ala kepadanya untuk orang lain yang membutuhkan. Ia yakin dengan memberi, sesungguhnya rezeki yang dimilikinya tidak akan berkurang. Malah, akan mendapat balasan berlipat. Orang inilah yang bermental kaya.
Orang bertakwa tidak terjangkiti penyakit materialis, yaitu, ketika memberi selalu mempertimbangkan untung/rugi. Ia percaya bahwa Allah Subhanahu wata’ala  yang melapangkan dan menyempitkan rezeki seseorang.
Demikian diantara sifat orang bertaqwa yang dijanjikan Allah Subhanahu Wata’ala  sebagai balasan sesuai dengan apa yang telah dikerjakan selama mereka hidup di dunia. Kenikmatan yang tidak terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas oleh manusia.


Kajian Rutin Kitab Riadhussolihin
'Karyawan Tuhan'


No comments:

Post a Comment