Masih ingat dengan seorang
sahabat Nabi yang tak dapat melihat? Yang karenanya Allah lalu menegur Nabi dan
menurunkan surat “A’basa”?
Dia (Muhammad) bermuka
masam dan berpaling,
karena telah datang seorang buta kepadanya.
tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,
Maka kamu melayaninya.
Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman).
dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
sedang ia takut kepada (Allah),
Maka kamu mengabaikannya.
sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,
karena telah datang seorang buta kepadanya.
tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,
Maka kamu melayaninya.
Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman).
dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
sedang ia takut kepada (Allah),
Maka kamu mengabaikannya.
sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,
QS. Abasa (80) ayat 1 – 11
Ia adalah Abdullah bin Ummi
Maktum Radiallahuanhu. Seorang sosok sahabat yang senantiasa tawadlhu dalam
menunaikan kewajibannya sebagai hamba Allah.
Suatu ketika sahabat Nabi
ini menghampiri baginda Rasulullah Saw, ia hendak meminta izin, untuk tidak
mengikuti jama’ah shubuh, karena tak ada yang menuntunnya menuju masjid.
Setelah mendengar alasannya, baginda Rasulpun bertanya: “Apakah engkau
mendengar adzan?”, Abdullah lantas menjawab: “Tentu baginda”, “Kalau begitu
tidak ada keringanan untukmu”, tandas Rasul.
Layaknya hamba Allah yang
senantiasa istiqomah dalam menjalankan perintahNya. Abdullahpun sam’an a
tho’atan atas apa yang diperintahkan Rasulullah Saw. Dengan mantap ia berazam
untuk mendirikan jama’ah shubuh di masjid,sekalipun dirinya harus meraba-raba
dengan tongkat untuk menuju sumber azan.
Keesokan harinya, tatkala
fajar menjelang dan azan mulai berkumandang, Abdullah bin Ummi Maktumpun
bergegas memenuhi panggilan Illahi. Tak lama ketika ia mengayunkan kakinya
beberapa langkah, tiba-tiba ia tersandung sebuah batu, badannya lalu tersungkur
jatuh, dan sebagian ongkahan batu itu tepat mengenai wajahnya, dengan seketika
darahpun mengalir dari mukanya yang mulia.
Dengan cepat Abdullah
kembali bangkit, sembari mengusap darah yang membasahi wajahnya, iapun dengan
mantap akan kembali melanjutkan perjalanan menuju masjid.
Selang beberapa saat,
datang seorang sosok lelaki tak dikenal menghampirinya, kemudian lelaki itu
bertanya: “A’mmu (paman) hendak pergi kemana?”. “Saya ingin memenuhi panggilan
Ilahi” jawab Abdullah tenang. Lalu laki-laki asing itu menawarkan jasanya,
“Saya akan antarkan a’mmu
ke masjid, lalu nanti kembali pulang ke rumah”. Lelaki itupun segera menuntun
Abdullah menuju rumah Allah, dan kemudian mengantarkannya kembali pulang.
Hal ini ternyata tidak
hanya sekali dilakukan lelaki asing itu, tiap hari ia selalu menuntun Abdullah
ke masjid dan kemudian mengantarkannya kembali ke rumah. Tentu saja Abdullah
bin Ummi Maktum sangat gembira, karena ada orang yang dengan baik hati
mengantarnya salat berjama’ah, bahkan tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Hingga tibalah suatu saat,
ia ingin tahu siapa nama lelaki yang selalu mengantarnya. Ia lalu menanyakan
nama lelaki budiman itu. Namun spontan lelaki asing itu menjawab: “Apa yang
paman inginkan dari namaku?”, “Saya ingin berdo’a kepada Allah, atas kebajikan
yang selama ini engkau lakukan”, jawab Abdullah. “Tidak usah” tegas lelaki itu.
“Paman tidak perlu berdoa untuk meringankan penderitaanku, dan jangan
sekali-kali paman menanyai namaku” tegasnya. Abdullah terhentak dan terkejut
atas jawaban lelaki itu, Iapun kemudian bersumpah atas nama Allah, meminta
lelaki itu untuk tidak menemuinya lagi, sampai ia tahu betul siapa dan mengapa ia
terus memandunya menuju masjid dan tidak mengharapkan balasan apapun.
Mendengar sumpah Abdullah,
laki-laki itu kemudian berpikir panjang, ia kemudian berkata: “Baiklah akan aku
katakan siapa diriku sebenarnya. “Aku adalah Iblis” jawabnya. Abdullah tersentak
tak percaya,
“Bagaimana mungkin engkau
menuntunku ke masjid, sedangkan dirimu menghalangi manusia untuk mengerjakan
salat?” Iblis itu kemudian menjawab: “Engkau masih ingat ketika dulu hendak
melaksanak salat shubuh berjama’ah, dirimu tersandung batu, lalu bongkahannya
melukai wajahmu?”.
“Iya, aku ingat” jawab
Abdullah. “Pada saat itu aku mendengar ucapan Malaikat, bahwasannya Allah telah
mengampuni setengah dari dosamu, aku takut kalau engkau tersandung untuk kedua
kali, lalu Allah menghapuskan setengah dosamu yang lain” jelas Iblis. “Oleh
karena itu aku selalu menuntunmu ke Masjid dan mengantarkanmu pulang, khawatir
jika engkau kembali ceroboh lagi ketika berangkat ke Masjid”
Astaghfirullah, ternyata
Iblis tak pernah rela sedikitpun melihat hamba Allah menjadi ahli ibadah.
Terbukti semua cara ia tempuh, hingga ia tak segan untuk menggunakan topeng
kebaikan, khawatir kalau mangsanya akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda.
**
Dari sepenggal kisah sahabat diatas, tentu kita dapat mengambil pelajaran dan memahami satu dari karakter Iblis, lalu bagaimana dengan kita? masihkah berdiam diri, menunggu menjadi korban makhluk laknat itu, atau kita mencoba melawan dengan memperbaiki diri dan terus mendekatkan diri pada Ilahi?
Dari sepenggal kisah sahabat diatas, tentu kita dapat mengambil pelajaran dan memahami satu dari karakter Iblis, lalu bagaimana dengan kita? masihkah berdiam diri, menunggu menjadi korban makhluk laknat itu, atau kita mencoba melawan dengan memperbaiki diri dan terus mendekatkan diri pada Ilahi?
No comments:
Post a Comment